h1

Pendidikan Investasi SDM Jangka Panjang

May 5, 2011

PendidikanPendidikan menjadi komponen yang sangat strategis dan mendasar untuk mendukung dan mendorong setiap upaya pembangunan sektor lainnya. Pendidikan juga mempengaruhi secara penuh terhadap pertumbuhan ekonomi dan peradaban suatu bangsa. Hal ini bukan saja karena pendidikan akan berpengaruh terhadap produktivitas, tetapi juga akan berpengaruh terhadap fertilitas, mortalitas dan migrasi masyarakat. Pendidikan juga menjadikan faktor penting dalam proses transformasi sosial suatu bangsa. Oleh karena itu, tidak mengherankan apabila negara yang berpenduduk dengan tingkat pendidikan yang tinggi akan mengalami pertumbuhan ekonomi yang pesat (Fatah, 2000).

Kontribusi pembangunan pendidikan terhadap pembangunan sosial ekonomi berwujud melalui peningkatan pengetahuan (knowledge), keterampilan (skills), sikap (attitudes), dan produktivitas (productivity). Bagi masyarakat, pendidikan bermanfaat dalam memperkuat kehidupan ekonomi, politik, sosial dan budaya. Secara filosofis, pendidikan sangat bermanfaat bagi manusia dalam memecahkan berbagai persoalan kehidupan. Pendidikan juga memperkuat kemampuan dalam memanfaatkan teknologi demi kemajuan di bidang sosial dan ekonomi. Karena manfaatnya yang begitu luas dan menyentuh semua dimensi kehidupan masyarakat, maka pembangunan pendidikan harus mendapatkan prioritas pertama dan utama oleh semua pihak.
Pendidikan dapat dipandang sebagai salah satu bentuk investasi SDM jangka panjang (long-term human capital investment). Pidato Theoderore W. Schultz pada tahun 1960 yang berjudul Investment in Human Capital di hadapan para ahli ekonomi dan pejabat yang tergabung dalam The American Economic Association merupakan dasar diletakkannya teori human capital. Pesan utama dari pidato tersebut sangat sederhana, yaitu bahwa proses peningkatan pengetahuan dan keterampilan melalui pendidikan bukan merupakan suatu bentuk konsumsi semata, namun merupakan suatu investasi yang amat besar dan berharga. Investasi dalam bidang pendidikan hasilnya tidak akan dirasakan dalam waktu yang singkat, tetapi akan dirasakan di kemudian hari, dan memerlukan waktu yang relatif lama.
Nilai modal manusia (human capital) suatu bangsa tidak hanya ditentukan oleh jumlah populasi penduduk atau tenaga kerja kasar (intensive labor) tetapi sangat ditentukan oleh tenaga kerja intelektual (intensive brain). Adam Smith (1952), pakar ekonomi klasik, mengakui bahwa pendidikan dan latihan akan dapat meningkatkan pengetahuan dan keahlian yang pada gilirannya dapat meningkatkan produktivitas kerja. Smith meyakini bahwa kesejahteraan dan kekayaan suatu bangsa sangat bergantung pada keunggulan intelijensi dan intelektualitas.
Sebagaimana dilaporkan oleh World Development Report (1980), investasi SDM sebenarnya telah dipikirkan sejak era Adam Smith dan para pemikir lainnya sejak abad ke-15. Bank Dunia dengan program internasionalnya telah mengukuhkan kepercayaan terhadap investasi sumber daya manusia bagi pertumbuhan ekonomi (Fatah, 2000). Berbagai studi telah dilakukan dan secara akademik mengakui bahwa faktor sumber daya manusia merupakan kunci bagi pertumbuhan kemajuan suatu bangsa. Keyakinan ini didasarkan atas studi yang dilakukan pada akhir 1970-an dan awal 1980-an, diantaranya Hick (1980) dan Wheeler (1980) yang telah membuktikan kembali pentingnya pendidikan untuk menunjang pertumbuhan ekonomi. Sumbangan pendidikan terhadap pertumbuhan ini semakin kuat setelah memperhitungkan efek pendidikan dan bentuk investasi fisik lainnya terhadap pertumbuhan ekonomi (Psacarapoulus, 1984).
Sejarah membuktikan tidak ada satupun bangsa di dunia mampu mencapai kemajuan dengan mengabaikan pembangunan pendidikan. Pertumbuhan ekonomi dalam kaitannya dengan peranan pendidikan ditegaskan oleh Bank Dunia (1993) di delapan negara yang mendapat predikat sebagai High Performing Asian Economic di antaranya Jepang, Korea Selatan, Taiwan, China, Hongkong, Singapura, Malaysia, dan Thailand. Berbagai studi yang telah dilakukan oleh Bank Dunia menunjukkan bahwa investasi pendidikan sebagai kegiatan inti pengembangan SDM terbukti memiliki sumbangan yang sangat signifikan terhadap tingkat keuntungan ekonomi. Berdasarkan temuan tersebut dinyatakan bahwa keutungan ekonomi dari investasi pendidikan (rate of return) ternyata lebih tinggi daripada investasi fisik dengan perbandingan rata-rata 15,3% dan 9,1%. Ini berarti bahwa investasi di bidang pendidikan sangat menguntungkan baik secara sosial maupun ekonomi. Banyak negara lainnya telah mengalami lonjakan kemajuan yang begitu menakjubkan tidak lain karena mereka menjadikan pembangunan pendidikan sebagai prioritas terpenting dan menjadi pilar utama penopang pembangunan lainnya.
Pengalaman di negara maju secara mendasar telah membuktikan bahwa pendidikan dapat mengurangi kebodohan dan kemiskinan serta menjadi sarana utama bagi pencerahan, pertumbuhan sikap kritis, kreatif, terampil dan produktif warga negara. Secara makro, pengembangan dan perencanaan pendidikan berbentuk piramida bersama politik dan kebudayaan. Pembangunan pendidikan tidak bisa lepas dari politik dan kebudayaan. Politik diperlukan di dalam pembangunan pendidikan agar terjadi percepatan dalam setiap kebijakan berupa lompatan-lompatan kemajuan pendidikan. Kebudayaan dalam konteks pendidikan adalah dalam rangka pembentukan watak dan nilai bangsa (nation’s and character building), sehingga setiap lembaga pendidikan memiliki budaya yang positif dan progresif bagi kemajuan bangsa di masa mendatang.
Pengembangan pembangunan pendidikan ini tidak terlepas dari adanya pergeseran secara global paradigma pembangunan di dunia. Paradigma pembangunan yang berorientasi pada produksi (production-centered development) yang terjadi pada dekade 60-an, beralih ke paradigma pembangunan yang lebih menekankan distribusi hasil-hasil pembangunan (distribution of growth development) pada tahun 70-an. Selanjutnya pada dekade 80-an muncul paradigma pembangunan yang berorientasi pada pemenuhan kebutuhan dasar (basic needs development) yang berkembang menjadi pembangunan yang berparadigma pada manusia (human-centered development) pada 90-an.
Pada era 1960-an Bank Dunia menentukan empat kriteria untuk investasi pengembangan sumber daya manusia, yakni: (1) kebutuhan tenaga kerja terampil dalam lapangan kejuruan dan teknologi; (2) perluasan pendidikan dasar yang dipandang memiliki tingkat keuntungan/manfaat (rate of return) yang lebih tinggi sehubungan dengan rendahnya biaya; (3) pengembangan sektor pedesaan sehingga memperlihatkan peranan pendidikan massal untuk meningkatkan produktivitas sektor pedesaan; (4) keadilan dan pemerataan yang menunjukkan pentingnya distribusi kesempatan memperoleh pendidikan dan bentuk-bentuk pengembangan SDM lainnya, baik secara geografis, sosial, dan ekonomis.
Keberhasilan sebuah program investasi pendidikan sebagaimana dilaporkan Bank Dunia (1978) dapat diukur melalui kriteria sebagai berikut:
a. Nilai manfaat ekonomis langsung dari suatu investasi, yakni perimbangan antara kesempatan (opportunity cost) dan keuntungan masa depan yang diharapkan melalui perbaikan produktivitas kerja;
b. Nilai manfaat ekonomi tidak langsung, yaitu keuntungan eksternal yang mempengaruhi pendapatan anggota-anggota masyarakat lain;
c. Keuntungan fiskal, yaitu peningkatan penerimaan negara dari sektor pajak yang diakibatkan oleh peningkatan penghasilan tenaga kerja terdidik;
d. Pemenuhan kebutuhan tenaga kerja terampil dan terlatih;
e. Permintaan masyarakat atas pendidikan;
f. Efisiensi internal dari lembaga pendidikan itu sendiri, yakni keterikatan antara input dan output yang diukur melalui indikator pemborosan, pengulangan, putus sekolah dan efektivitas biaya;
g. Terciptanya distribusi kesempatan pendidikan terhadap distribusi pendapatan dan kontribusi pendidikan terhadap pengurangan angka kemiskinan dan;
h. Adanya keterkaitan antara investasi di sektor pendidikan dan investasi di sektor lain, seperti kesehatan, industri, dan pertanian.
Untuk mencapai tujuan tersebut tidak semudah yang dibayangkan mengingat bahwa proses pencapaian tujuan pendidikan dipengharuhi oleh berbagai faktor. Dalam Undang-undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional dikemukakan bahwa: Pendidikan Nasional bertujuan untuk mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis dan bertanggungjawab.
Di dalam rumusan tujuan pendidikan nasional tersebut terkandung makna bahwa dimensi iman dan takwa merupakan bagian yang tak terpisahkan dengan sistem pendidikan secara keseluruhan. Kemudian, dlihat dari segi kelengkapan rumusannya, tujuan pendidikan nasional merupakan cita-cita yang amat luhur, indah dan membesarkan hati. Seandainya semua warga negara Republik Indonesia ini mencapai tujuan tersebut, diyakini bahwa kualitas bangsa akan meningkat sehigga mampu mengejar ketinggalan dari kemajuan bangsa-bangsa lain di dunia.
Namun demikian, satu hal yang perlu diwaspadai bahwa apabila dimensi iman dan takwa (imtaq) gagal ditanamkan kepada peserta didik, maka rumusan-rumusan lain menjadi tidak bermakna. Hal ini berdasarkan asumsi bahwa penguasaan Iptek akan menjadi bencana bagi dunia, apabila tidak dilengkapi dengan iman dan takwa sebagai landasan utama dalam pembentukan sikap dan moral bangsa.
Implikasinya, pembinaan iman dan takwa bukan hanya sekedar tugas dari bidang kegiatan atau kajian tertentu secara terpisah, melainkan menjadi tugas pendidikan secara keseluruhan dalam suatu sistem yang terpadu. Dengan kata lain bahwa pendidikan nasional dan seluruh upaya pendidikan sebagai suatu sistem yang terpadu harus secara sistematis diarahkan guna menghasilkan manusia Indonesia yang utuh. Manusia yang utuh dimaksud, salah satu cirinya adalah memiliki keimanan dan ketakwaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa.
Dalam prakteknya, tujuan pendidikan nasional tersebut dijabarkan secara operasional ke dalam bidang-bidang kegiatan pendidikan yang secara sadar dan terarah ditujukan guna mencapai tujuan pendidikan nasional secara keseluruhan, dimensi-dimensi tujuan pendidikan nasional masih mengalami kesulitan. Praktek-praktek pendidikan masih lebih banyak mengutamakan dimensi-dimensi tujuan yang bersifat instrumental yang berkenaan dengan aspek pengetahuan dan keterampilan. Kondisi demikian dimungkinkan karena secara konvensional, kegiatan pendidikan yang lebih banyak disebut dengan persekolahan (schooling ) dan dibatasi pada aspek proses belajar mengajar lebih banyak berkenaan dengan belajar akademik (academic learning) untuk penguasaan bidang pengetahuan atau keterampilan tertentu.
Pada prakteknya, terdapat alasan lain mengapa proses pendidikan kebih banyak diarahkan kepada penguasaan pengetahuan dan keterampilan, karena aspek tersebut lebih mudah diamati dan diukur daripada aspek nilai dan sikap. Akibatnya dimensi–dimensi nilai dan afektif yang bersifat instrinsik dari tujuan pendidikan sering kali terabaikan, dan hanya menjadi efek penyerta dari upaya pendidikan. Sedangkan secara filosofis, idealnya upaya pendidikan yang sejati mampu memberikan perhatian secara seimbang kepada semua dimensi potesi manusia, baik dimensi pengetahuan (kognitif), keterampilan (psikomotorik), nilai dan sikap (afektif), serta kemauan (konatif). Di samping itu, ditinjau dari segi sistem secara keseluruhan, penyelenggaraan pendidikan di Indonesia pernah mengalami persoalan besar, yakni berkenaan dengan menyelaraskan mutu dan pemerataan. Sebagaimana dialami oleh negara-negara berkembang termasuk Indonesia– bahwa dalam kondisi keterbatasan dana dan sumber daya lainnya, melakukan secara serempak antara pemerataan memperoleh kesempatan dan peningkatan mutu pendidikan bukan hal yang mudah.
Pada masa-masa yang lalu, penyelenggaraan pendidikan di Indonesia didominasi oleh pemerataan memperoleh kesempatan pendidikan dan mutu pendidikan agak terabaikan. Berkaitan dengan hal tersebut, laporan Bank Dunia (1989) mengemukakan bahwa : “In a situation of limited resources, doing more of one thing implies doing less of something else“. Melakukan keduanya sekaligus malah tidak akan mencapai apa-apa. Pemikiran lain berpandangan bahwa pemerataan dengan mutu adalah dua hal yang bergandengan, artinya tidak dapat dilakukan secara terpisah. Karena mengejar pemerataan dengan mengabaikan mutu hasilnya adalah pendidikan yang tidak bermutu.
Beberapa tahun terakhir, terdapat perubahan pandangan tentang keterkaitan antara pemerataan pendidikan dan mutu pendidikan. Menurut Fuller & Habte (1992), mengemukakan bahwa kualitas dan kuantitas dapat dilakukan sekaligus. Masalahnya adalah bukan berupa pilihan antara pemerataan atau mutu, melainkan dalam konsep pemerataan dan mutu. Implikasinya, pemerataan kesempatan memperoleh pendidikan diperluas, bersamaan dengan itu mutu pun terus diperhatikan. Selain itu, mengacu kepada sasaran UNESCO untuk mencapai pendidikan untuk semua (education for all), dunia pendidikan tidak lagi berada pada tataran educational access for all, melainkan sekaligus bergerak menuju quality educational for all.
Latar belakang kemunculan pemikiran di atas, sedikitnya berlandaskan dua alasan, yaitu: Pertama, kenyataan tantangan pendidikan saat ini meliputi keduanya sekaligus, dan bangsa Indonesia harus menghadapi keduanya secara bersama-sama. Kedua, pengalaman mengajarkan bahwa konsentrasi terhadap pemeratan dengan mengabaikan mutu memiliki akibat yang tidak lebih ringan dibandingkan dengan mulai membangun pendidikan yang bermutu. Berdasarkan alasan-alasan tersebut, semestinya perhatian dan komitment terhadap mutu pendidikan dimulai sejak awal, bahkan idealnya ketika suatu sekolah mulai berdiri dengan cara melengkapi sarananya, membina gurunya, mengembangkan disiplin belajar pada para siswanya, menata sistem evaluasinya, dan memperkuat manajemen sekolahnya.
Pendidikan menjadi salah satu aspek dalam indeks pembangunan manusia (human development index) yang dikembangkan oleh United Nations Development Programs (UNDP). Unsur pendidikan dianggap sebagai indikator kemajuan pembangunan sebuah masyarakat, di samping kesehatan dan daya beli masyarakat. Dengan posisi tersebut, pendidikan dianggap cukup strategis untuk dijadikan agenda pembangunan bangsa. Untuk itu seluruh potensi pendidikan hendaknya diarahkan pada pencapaian tingkat kemajuan pembangunan pendidikan yang mantap, baik secara kuantitatif maupun kualitatif.
Dalam komposit IPM, aspek pendidikan diukur dengan menggunakan dua indikator yakni, angka melek huruf (AMH) penduduk 15 tahun ke atas, dan rata-rata lama sekolah (RLS). Angka melek huruf diukur melalui kemampuan membaca dan menulis, diperoleh dengan membagi banyaknya penduduk usia 15 tahun keatas yang dapat membaca dan menulis huruf latin dan lainnya, dengan seluruh penduduk berumur 15 tahun ke atas. Sedangkan rata-rata lama sekolah dihitung dengan tiga variabel, yakni patisipasi sekolah, tingkat/kelas yang sedang/pernah dijalani, dan jenjang pendidikan tertinggi yang ditamatkan. Rata-rata Lama Sekolah dihitung menggunakan variabel pendidikan tertinggi yang ditamatkan dan kelas atau tingkat tertinggi yang pernah diduduki. Penggunaan dan pemanfaatan indikator ini dalam upaya pembangunan mempunyai kemanfaatan yang terbatas, karena sebenarnya lebih berfungsi sebagai alat untuk advokasi, yaitu memberikan petunjuk dan gambaran secara umum tentang status dan pencapaian pembangunan selama satu periode tertentu. Oleh karenanya, pengukuran terhadap setiap komposit IPM bersifat periodik. Karena itu tidak dapat memberikan petunjuk yang pasti tentang status dan pencapaian serta kemajuan suatu bidang kehidupan tertentu, sehingga suatu upaya intervensi harus terus dilakukan dengan menggunakan pendekatan yang bersifat interdisipliner.
Indikator komposit pendidikan dengan menjadikan angka melek huruf dan rata-rata lama sekolah hanyalah tingkatan kemajuan yang harus dicapai dalam taraf minimal. Asumsi dasar teoritisnya adalah semakin lama orang belajar di sekolah formal maupun non formal maka akan semakin tinggi kemampuan melek hurufnya dan semakin merata tingkat pendidikannya. Artinya, salah satu indikator kemajuan pembangunan tercapai secara signifikan.
Berdasarkan pemikiran di atas, Profil Pengembangan Pemetaan Pendidikan Kabupaten Bulungan ini disusun dalam rangka menformulasikan makna strategis pendidikan dalam pembangunan di Kabupaten Bulungan Provinsi Kalimantan Timur. Angka Partisipasi Pendidikan, Angka Melanjutkan, serta jumlah penduduk usia sekolah sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari upaya peningkatan angka Indeks Pendidikan, menjadi standar yang dipergunakan dalam pembahasan dokumen ini. Untuk selanjutnya dokumen ini memuat potensi dan persoalan pendidikan, kinerja pendidikan, strategi dan arah kebijakan, indikator kegiatan yang dicerminkan melalui program kegiatan. Sementara analisis data dilakukan untuk setiap Kecamatan yang ada di Kabupaten Bulungan, dalam rangka menemukan kunci persoalan yang ada di setiap wilayah tersebut serta memetakan potensi Pendidikan di masing-masing Kecamatan. Dari analisis data Kecamatan pada gilirannya dapat merumuskan berbagai alternatif kebijakan pendidikan di Kabupaten Bulungan, yang kemudian dijadikan sebagai bahan rujukan bagi berbagai dokumen Perencanaan Pembangunan; baik untuk Rencana Pembangunan Jangka Panjang, Menengah, maupun Jangka Pendek dan bermuara pada Anggaran Pembangunan dan Belanja Daerah atau APBD.
Kebijakan pendidikan akan memayungi setiap program pendidikan di Kabupaten Bulungan Provinsi Kalimantan Timur. Melalui kebijakan pendidikan, masyarakat Kabupaten Bulungan akan terlibat secara aktif dalam pembangunan, baik secara perorangan maupun kelompok. Peran-peran masyarakat inilah yang akan mempercepat pencapaian Visi Pemerintah Kabupaten Bulungan Provinsi Kalimantan Timur.

Leave a comment